Selasa, 22 Januari 2013

CERPEN >> Manusia dan Belas Kasih

 PENGEMIS

Pengemis, suatu nama yang menjadikan dirinya mungkin layak diberi sebuah rasa kasihan. Hidup dengan berharap dari belas kasih manusia. Kian hari mereka kini begitu banyak jumlahnya. Kita bisa menemuinya di bus-bus kota, di trotoar jalan, di perempatan jalan menanti mobil yang sedang menunggu lampu merahhberganti hijau atau sesekali melewati rumah demi rumah menunggu belas kasih seseorang.

Mereka kadang-kadang penipu. Mengaku sebagai kaum papa, tapi nyatanya rumah di kampung halamannya sungguh besar luar biasa. Mereka hidup merantau ke kota dan menjadi pengemis sebagai profesinya. Kadang kala, mereka berpura-pura cacat. Entah itu tangannya yang ditekuk ke dalam baju hingga bajunya terlihat kosong tanpa tangan. Atau juga dia berjalan dengan bertumpu pada tangan sambil menyeret kakinya mengharap iba dari para penumpang bus. Namun adapula yang berpura-pura sebagai orang yang telah bertaubat dalam lumpur dosa, dia menceritakan panjang lebar tentang kisahnya di dalam bus kota seakan tak punya uang untuk bekal kembali ke desanya.

Belakangan kudengar jika kita memberi uang pada kaum seperti mereka akan dikenakan sanksi. Sungguh suatu dilema. Akankah kita akan menjadi manusia yang sulit berbagi ? Tegakah kita melihat seseorang yang papa, yang seharusnya membutuhkan uluran tangan kita ?

Entahlah, aku sama sekali tak menghiraukan aneka kelakuan dari si pengemis. Biar bagaimanapun bagiku hanya Tuhanlah yang berhak menghakiminya. Suatu saat kutemui pengemis dengan jalan tertatih-tatih. Ia ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya padaku. Setelah aku lewati dirinya, aku melihatnya dari arah belakang. Dugaanku ternyata salah, ia benar-benar berjalan dengan bersusah payah. Seorang lelaki tua dengan baju hitam pudar yang sudah kumal. Mungkin sehari ini belum cukup makanan yang masuk ke kerongkongannya, kupikir. Buru-buru aku mengambil selembaran uang yang ada dalam tasku dan menyuruh anakku untuk segera memberikan uang ini padanya. Anakku berlari padanya. Pengemis itu memandangi diriku dari kejauhan , berkali-kali dia menundukkan pandangannya seperti tanda berterima kasih. Meski sedikit yang kuberi, tiba-tiba saja perasaan bahagia muncul begitu saja meletup-letup dalam relung hatiku.

Pernah suatu ketika kulihat seorang lelaki, dengan tubuh yang tak tampak renta menelungkupkan tangannya ketika aku menghampirinya. "Maaf, Pak" begitulah yang terlontar dari dalam mulutku. Meski dalam hati ingin rasanya memarahinya, membentaknya mengapa dengan tubuhnya yang masih terlihat gagah beraninya ia sampai hati menjadi pengemis. Padahal Bisa saja orang itu menjadi kuli pengangkat beras di pasar. Bukankah tangan di atas adalah lebih baik ketimbang tangan di bawah ? Meski hatiku meronta-ronta dibuat kesal oleh pengemis yang gagah itu, aku tetap tak bernyali untuk memakinya. Aku teringat pesan orang tuaku kalau pengemis itu tak boleh dihardik.

Hari demi hari kutatap matahari begitu panas menyengat. Mungkin begitu pula dengan orang - orang lainnya. Mungkin banyak orang mengeluh karenanya. Terutama jika mereka tengah berada di luar sana di dalam bus kota yang penuh sesak berpacu melawan kemacetan. Mau tak mau batin berperang ingin menyudahi situasi ini. Meski aku tak hidup di kota yang katanya hidup penuh gemerlap dan serba ada, harusnya kusyukuri ni'mat Illahi yang tiada taranya ini.


Sumber :  http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/2009/10/pengemis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar